Poco Leok Melawan

Proyek Geotermal: Pembangunan Tidak Boleh Mengorbankan Lingkungan dan Masyarakat Lemah

Proyek Geotermal: Pembangunan Tidak Boleh Mengorbankan Lingkungan dan Masyarakat Lemah
Foto Dokumentasi Warga: Ratusan warga adat Poco Leok mengadakan aksi demonstrasi di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, NTT pada Rabu, 9 Agustus 2023, menuntut Bupati Heribertus G. Nabit mencabut surat keputusan terkait izin lokasi yang menjadi dasar bagi aktivitas proyek geothermal di wilayah Poco Leok. 



Laporan ini ditulis oleh : Trisno Arkadeus (Pemuda Poco Leok)


Romo Reginald Piperno, ketua JPIC Keuskupan Agung Ende, memberikan penjelasan mendalam mengenai sikap Uskup Agung Ende, Mgr. Budi Kleden yang ikut menolak kehadiran proyek geotermal di wilayahnya. 


"Pembangunan tidak boleh mengorbankan lingkungan dan masyarakat lemah," tegas Romo Perno, begitu ia akrab disapa. 


Pernyataan tersebut disampaikan dalam diskusi daring bertajuk "Geothermal di Flores sebagai Bisnis Energi Berkedok Hijau: Dimana Posisi Agama-Agama?" yang digelar oleh Forum Titik Temu Masyarakat Flores pada Sabtu, 27 Januari 2025, lalu. 


Diskusi itu dihadiri oleh sejumlah narasumber dan peserta yang peduli terhadap isu lingkungan secara khusus masalah Proyek Geothermal yang masuk di Pulau Flores. 


Acara dipandu oleh Anno Susabun, jurnalis dari Floresa, yang dengan cermat mengarahkan diskusi untuk menggali berbagai perspektif mengenai dampak proyek geothermal di Flores.

 

Dalam pembukaannya, Anno menekankan pentingnya peran agama dalam konteks sosial dan lingkungan. Ia mengingatkan bahwa agama seharusnya menjadi "playmaker" dalam menyelesaikan persoalan, bukan "troublemaker". 


Pernyataan itu mengingatkan kita akan tanggung jawab moral yang diemban oleh institusi keagamaan dalam menghadapi tantangan pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan.


Senada dengan itu juga, Keuskupan Agung Ende memilih langkah berada bersama warga yang menolak sebagai bentuk tanggung jawab moral. “Gereja memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak bersuara, terutama masyarakat miskin yang menjadi korban langsung dari proyek ini,” kata Romo Perno. 


Perspektif keuskupan Agung Ende, Flores yang kaya akan pertanian, berisiko mengalami kerusakan serius jika eksploitasi geothermal dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. 


Menjawab pertanyaan tentang latar belakang pernyataan sikap Uskup Agung Ende, Romo Perno menerangkan bahwa Uskup pernah bersamanya turun langsung untuk melihat dampak geothermal di 3 wilayah keuskupan Ende, yakni; Kevikepan Ende, Kevikepan Bajawa, dan  Kevikepan Mbai. 


Dari ketiga wilayah keuskupan tersebut, kata Romo Perno, terdapat 12 titik pemboran yang sudah ditandai dan tentu akan berdampak sangat besar. 

Sejalan dengan Ensiklik Laudato Si, Romo Perno meminta agar sekiranya siapapun bertanggung jawab dengan Ibu Bumi yang sedang menangis karena ulah manusia yang merusaknya. 


Hal penting dari pernyataan sikap Uskup Ende adalah laporan langsung dari warga yang terdampak sebab pembangunan haruslah adil bukan malah mengintimidasi apalagi mengabaikan hak-hak orang lemah. 


Menanggapi sikap Uskup itu, Romo Perno mengharapkan agar sikap itu kemudian menjadi sikap Gereja secara umum khususnya keuskupan yang ada di Pulau Flores. 


“Gereja mesti berpihak pada orang-orang kecil (Option Of The Poor) seperti pesan  yang pernah disampaikan oleh Paus Fransiskus tentang The Voice Of Voiceless”, tutup Romo Perno.



Suara dari Warga


Proyek Geotermal: Pembangunan Tidak Boleh Mengorbankan Lingkungan dan Masyarakat Lemah
Foto Dokumentasi Warga: Ratusan warga adat Poco Leok mengadakan aksi demonstrasi di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, NTT pada Rabu, 9 Agustus 2023, menuntut Bupati Heribertus G. Nabit mencabut surat keputusan terkait izin lokasi yang menjadi dasar bagi aktivitas proyek geothermal di wilayah Poco Leok. 


Maria Suryanti Jun, salah satu warga Poco Leok mengapresiasi sikap tegas Uskup Agung Ende dan berharap keuskupan Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, dapat mengikuti jejak yang sama dan melihat dampak negatif dari proyek yang hendak dijalankan. 


Perempuan yang akrab disapa Mia ini mengungkapkan kekhawatirannya akan terbentuknya dua kubu; pro dan kontra terhadap proyek geotermal di kalangan umat yang berdampak pada kehidupan rohani mereka. 


"Setelah proyek geothermal direncanakan, banyak umat yang berubah sikap dan mengabaikan komunitas gerejanya," ujar Mia. Sebagai contoh misalnya, hilangnya sebuah komunitas Rohani di Poco Leok pasca hadirnya perencanaan pengembangan geotermal di Wilayah Poco Leok. 


Sehingga bagi Mia, geotermal juga berpengaruh dalam kehidupan menggereja terutama berkaitan dengan iman umat. 


“ketika Uskup Ruteng terus memilih diam dengan persoalan geotermal Poco Leok, artinya pada saat yang sama, dia membiarkan umatnya kehilangan iman secara permanen”  Ujarnya. 


Sementara itu, Tony Anu, seorang warga dari lingkar proyek geothermal Mataloko, menceritakan bagaimana dampak negatif proyek geothermal sudah dirasakan sejak tahun 1998.


Namun sayangnya, hal semacam itu tidak menjadi perhatian utama baik dari pemerintah maupun gereja. Ia dan sejumlah warga yang lain akan terus menyuarakan penolakan terhadap proyek tersebut dengan alasan yang jelas dan mendasar, termasuk kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan ancaman terhadap budaya lokal. 


“Proyek ini seringkali dianggap sebagai solusi energi hijau, tetapi nyatanya meninggalkan kerusakan lingkungan, pencemaran air, tanah, dan penghancuran nilai-nilai budaya lokal,” katanya Tony. 

Ia juga menyoroti dampak ekonomi yang justru merugikan masyarakat lokal. Proyek geotermal Mataloko yang mulai dikerjakan lebih dari dua dekade lalu semula hanya mencakup dua desa, namun terus meluas hingga tujuh desa di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Golewa dan Golewa Selatan, kata Tony.

Ia menegaskan bahwa ekspansi ini dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap masyarakat dan lingkungan. “Wilayah-wilayah proyek ini adalah lahan subur yang sangat potensial untuk pertanian dan perkebunan, tetapi dialihfungsikan menjadi lahan tambang,” kata Tony.

Dengan tegas anak muda itu mengatakan, jika warga di sekitar lokasi proyek geotermal bertahan hidup dengan cara bertani dan beternak, bukan dari kehadiran geotermal.


Dukungan Sekaligus Kritik Peserta Diskusi


Erwin Prasetyo, rektor Universitas Muhammadiyah Maumere yang juga menjadi narasumber dalam forum diskusi itu, menambahkan pandangannya. 


Ia menegaskan bahwa Muhammadiyah mendukung pembangunan energi terbarukan dengan syarat bahwa proyek tersebut tidak mengintimidasi masyarakat dan memperhatikan aspek lingkungan serta hak-hak masyarakat adat. 


"Kami percaya bahwa pembangunan harus berlandaskan pada prinsip keadilan," ujarnya. 


Kanisius Siga, peserta forum yang ikut dalam diskusi turut menambahkan fakta lain dari polemik hadirnya proyek geotermal. Ia mengungkapkan pandangannya bahwa proyek yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) itu sangat tidak jelas. 


Ia menyoroti fakta bahwa masih banyak desa yang belum mendapatkan akses listrik, sehingga urgensi pengembangan geothermal patut dipertanyakan. 


Sebagai contoh misalnya, data dari PLN masih ada cadangan 15,6 MW, persentase rasio desa listrik 95,5% artinya hanya sekitar 77 desa yang belum ada listrik. "Untuk apa pengembangannya jika masih ada desa yang gelap?" tanyanya.


Diskusi ini tidak hanya menyoroti dampak sosial dan lingkungan dari proyek geothermal, tetapi juga menegaskan pentingnya kolaborasi antara agama, masyarakat, dan pihak terkait lainnya dalam menangani isu-isu lingkungan. Dengan kehadiran berbagai suara dari masyarakat, diharapkan keputusan yang diambil akan mencerminkan keadilan dan keberlanjutan bagi Flores dan warganya.


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak