Poco Leok Melawan

Catatan Penting Terhadap Dilema Moral di Poco Leok

Oleh; Trisno Arkadeus, warga Poco Leok


Ket: Ratusan warga yang menolak kehadiran proyek geotermal mesti berhadapan dengan aparat keamanan agar pihak perusahaan serta pemerintah tidak masuk ke dalam wilayah Poco Leok untuk melakukan pengukuran lahan pada tanggal 2 Oktober 2024 lalu. (Foto: Dokumentasi warga)



Di kuping Publik Manggarai, kata 'Poco Leok' dan 'Demo Geotermal' saling mengandaikan. Bagaimana tidak, pada 22 April 2025, beberapa warga Poco Leok kembali mendatangi kantor DPRD dan Bupati. Kali ini, giliran pihak pendukung yang menyampaikan pandangan mereka. 


Maka sudah tak mungkin lagi, tema dari aksi ini adalah mendukung geotermal. Baru kali ini di Manggarai, ada aksi untuk mendukung, setelah di semua tempat ada resistensi masyarakat untuk menolak hadirnya proyek tersebut.


Tak dipungkiri, tandingan demonstrasi pendukung, beberapa bulan terakhir, kerap terjadi di sejumlah tempat. Masih ingat dengan reaksi massa aksi di sejumlah daerah di Indonesia menolak hadirnya RUU TNI yang dilakukan DPR RI pada bulan Maret lalu? 


Di antara kerumunan demonstran yang menolak revisi UU tersebut, terdapat beberapa orang yang mendukungnya. Dalam video yang beredar di media sosial, terlihat segelintir orang yang berdiri di depan Gedung DPR RI, Jakarta, pada Kamis (20/3/2025) sembari membawa spanduk berwarna merah putih bertuliskan "Aksi damai! Dalam rangka mendukung RUU TNI, mendesak DPR RI dan pemerintah segera mengesahkan RUU TNI demi tegaknya negara kesatuan republik Indonesia". 


Kompas.com bertanya kepada salah satu dari mereka yang membentangkan spanduk, dan mereka mengaku hanya diajak koordinator lapangan (korlap) untuk menggelar aksi tersebut. “Disuruh sama korlap (koordinator lapangan),” kata salah satu massa pendukung UU TNI di depan Gedung DPR RI, Kamis.


Alih-alih langsung menjawab, pendukung RUU TNI tersebut terlihat bingung. Dalam laporan media lain seperti suara.com, Ia terlihat celingak-celinguk seolah mencari bantuan, sebelum akhirnya menarik spanduk dan menyembunyikan wajahnya. “Nggak tau kenapa, tapi mendukung," jawabnya.


Narasi Pro UU TNI pun menggaung di Kota Kupang, dimana massa aksi pendukung dari kelompok anak muda melakukan aksi di Bundaran Tirosa, pada Jumat (28/3/2025). 


Pola aksi yang tampak sama di tengah maraknya penolakan itu, akhirnya menimbulkan rasa penasaran untuk mencari tahu dari berbagai sumber referensi. Apa yang membuat semua reaksi ini terjadi?. Meski masih menyimpan misteri, saya berani untuk menduga-duga, jika pola tersebut adalah bagian dari sirkuit politik kepentingan. 


Di kolom pencarian google, saya menemukan gambaran penjelasan tentang kondisi ini. Wikipedia menerangkan tentang “Politik Pecah Belah”. 

Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. 

Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Awalnya, politik pecah belah merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). 

Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang, namun lebih menjadi politik kekuasaan. 


Mari luangkan waktu anda, dan membaca ini


Saya adalah Pemuda Poco Leok, dan sekali lagi, saya ingin berbagi dengan sejujurnya, dengan fakta yang ada, dengan harapan yang baik, tentang kami masyarakat adat Poco Leok.


Pertama, saya mulai dari aksi demonstrasi pihak pendukung yang terjadi hari Selasa, 22 April 2025 lalu. Dari tulisan dalam spanduk yang dipegang oleh demonstran; “Panas Bumi, Pemberi Harapan Hidup dan Kesejahteraan”. 


Kalimat yang terlalu gampang untuk disimpulkan, bahwa seakan-akan eksplorasi sumber panas bumi adalah satu-satunya solusi agar masyarakat sejahtera. Sementara, barangkali lupa, jika setiap harinya, Manggarai secara khusus, sumber pertanian menjadi sumber hidup sebenarnya. 


Sebuah kalimat yang mereduksi kondisi masyarakat agraris yang sebenarnya menjadi sumber harapan dan kesejahteraan hidup mereka. Dan tidak lah etis kalau hal tersebut dianggap bukan sebagai masalah. 


Bukan kah anak-anak yang disekolahkan, kebutuhan harian hidup, adalah dari bertani? Atau selama ini sudah sejahtera dari panas bumi?. Pernyataan semacam ini seperti senada dengan pernyataan Bupati Manggarai yang sebelumnya menganggap remeh pertanian dan lebih mementingkan industrialisasi. 


Pernyataan ini bisa di baca dalam laporan media floresa.co yang terbit pada 9 April 2025 dengan judul “Ngotot ‘Harus Bangun’ Proyek Geotermal Poco Leok, Nabit Klaim ‘Tidak Ada Negara yang Maju karena Pertanian,’ Persoalkan Sikap Gereja Katolik”.


Maka terlalu dini menurut saya, ketika kita tiba-tiba menyimpulkan bahwa panas bumi adalah energi yang membawa kesejahteraan, lebih-lebih ketika kita menaruhnya sebagai sumber hidup. 


Kedua, keresahan serta masalah terutama dan yang pertama bagi saya di Poco Leok adalah konflik internal berkepanjangan, pasca perencanaan pembangunan geotermal ini berjalan di Poco Leok. 


Ketidaknyamanan bukan hanya karena takut dengan Pihak PLN atau Aparatur Negara yang kerap kali datang ke Lokasi di Poco Leok (Terhitung, aksi jaga kampung yg dilakukan oleh warga penolak Geothermal sebanyak 27 kali), tetapi ketika misalnya berpapasan antara masyarakat yang pro dan kontra sudah tidak hidup seharmonis dulu lagi. Hidup tak seakrab dulu, masyarakat tak saling bertegur sapa lagi. 


Ketiga, perlu saya tegaskan bahwa hukum ataupun aturan yang dibuat dalam suatu negara adalah produk manusia yang bermoral. Dan apabila tidak berpihak pada moral itu sendiri, bisa dipastikan bahwa hukum atau aturan-aturan yang sudah ditetapkan akan kehilangan arah.

Dan sebagai salah satu yang mengontrol moral kita sebagai manusia yang bermartabat adalah spiritualitas dan agama. Sebagai masyarakat adat, kewibawaan spiritualitas tentunya lahir dari adat dan tradisi setempat yang menjunjung tinggi nilai-nilai khusus yang kemudian dijadikan entitas keyakinan demi memperoleh keselamatan. Baik untuk mengontrol kita sebagai masyarakat dalam berperilaku, bersikap, bertutur terhadap sesama manusia, lingkungan atau pun alam itu sendiri. 


Sisi lainnya yang turut dipahami dan tentu selaras dengan ajaran agama pada umumnya sebagai umat Katolik, Paus Fransiskus yang belum lama ini telah berpulang dan meninggalkan banyak perbuatan serta sikap yang merakyat, telah menitipkan suara melalui Ensiklik “Laudato Si” (Kepedulian terhadap lingkungan). Semua itu tentu agar moral kita bisa dikontrol untuk tak menjadi rakus dan berambisi. Pun menjadi katalisator iman agar tahu batasan dari mana kita berasal.  


Sejatinya yang diperjuangkan oleh masyarakat adat penolak geotermal adalah untuk menjaga keselamatan lingkungan itu sendiri. Masyarakat adat yang “melawan” adalah masyarakat adat yang sudah sadar untuk tidak terpenjara dengan narasi-narasi eksotis. 


Serupa isi Surat Gembala Pra-Paskah yang telah ditandatangani oleh keenam Uskup di Flores, yang salah satunya dipanggil menjadi penjaga kehidupan dan pelayan sesama. Paling utama, menjaga lingkungan dengan menolak eksploitasi sumber daya yang merusak ekosistem, termasuk energi geothermal, di Flores dan Lembata, yang menimbulkan pertanyaan berbagai pihak saat ini.  


Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak