Oleh; Trisno Arkadeus, Pemuda Adat Pocoleok
FOTO : Kalimat protes yang menggunakan bahasa Inggris turut dipersoalkan oleh Gubernur NTT, Melki Laka Lena, saat menemui warga Pocoleok yang menolak kehadiran proyek geothermal. Datang dalam waktu yang singkat berdialog dengan warga yang sudah berjuang selama lima tahun melakukan aksi penolakan, Ia menyimpulkan bahwa kalimat tersebut bukan tulisan dari warga sendiri & bahkan menuding ada pihak-pihak tertentu yang bermain di belakang layar.
Dalam beberapa hari terakhir, pernyataan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Melky Laka Lena, mengenai proyek geotermal, memicu banyak reaksi terutama dari warga adat Pocoleok, pasca kunjungannya ke wilayah tersebut. Saat berbicara di Forum Dialog Nusantara, Gubernur berpendapat bahwa penolakan masyarakat terhadap proyek tersebut tidak mencerminkan suara rakyat yang sebenarnya. Ia menuduh adanya praktik manipulatif di balik gerakan protes, yang dianggapnya tidak tulus. Pandangan tersebut tentu saja meremehkan masyarakat setempat, dan patut dicermati lebih dalam.
Ketika Melky Laka Lena, menginjak kaki di Pocoleok pada 16 Juli lalu, ia datang bukan sebagai pemimpin yang merendah, melainkan dengan pengawalan aparat bersenjata laras panjang. Bagi saya, itu adalah sebuah ironi terhadap sosok yang mengaku “mantan aktivis”. Bagaimana tidak, setelahnya dalam dialog di Jakarta dua hari setelah kunjungannya di Pocoleok, ia melontarkan pernyataan yang bukan hanya merendahkan intelektualitas warga, tetapi juga mengaburkan akar konflik: “Tulisan-tulisan pakai Bahasa Inggris sangat rapi, itu bukan tulisan rakyat,” katanya, menuding penolakan geotermal sebagai ‘manipulasi aktor di balik layar’.
Sebagai pemuda asli Pocoleok, saya merasa perlu memberikan prespektif yang berbeda. Gubernur menganggap masyarakat tidak berpendidikan dan tidak memahami isu-isu kompleks seperti transisi energi, jelas merupakan penghinaan. Gubernur tidak menyadari bahwa banyak dari kami yang terdidik, dan bahkan mampu berdiskusi tentang energi dan keberlanjutan lingkungan tanpa perlu dicap sebagai “tidak mengerti”. Kunjungannya yang hanya berlangsung singkat, menurut saya adalah cerminan sikap pragmatis yang tidak mempertimbangkan nuansa dan kedalaman isu yang ada.
Kalau gubernur betul-betul hendak mendengar langsung jeritan warga, dan mengutamakan hak mereka dari pembangunan yang direncanakan, maka hemat saya, satu kunjungan saja tidak cukup, apalagi hanya sesaat untuk memahami kompleksitas konflik yang telah berlangsung lama. Bagaimana mungkin kemudian, setelahnya dengan waktu yang singkat tersebut, menuding warga tidak paham, diprovokasi, sembari mengamankan posisinya sebagai penguasa untuk melanjutkan perencanaan itu, yang ditolak warga selama bertahun-tahun.
Bagi saya, pemuda yang lahir dan dibesarkan di tanah adat Pocoleok, melihat bahwa ungkapan gubernur tentang perjuangan kami selama ini sebagai ‘manipulasi’ adalah puncak dari kesombongan epistemik. Gubernur dalam kunjungan singkatnya, telah menyimpulkan bahwa warga kami ‘terbelakang’, terperangkap mitos, dan dikendalikan pihak luar. Padahal anggapan kami bisa saja sebaliknya, pemerintahlah yang gagal paham dalam menjawab pertanyaan kritis dan kemungkinan yang terjadi tentang kelayakan proyek geotermal di Flores, dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan lingkungan.
Satu hari setelah kunjungnya berdialog dengan warga, saya menelisik ‘konotasi’ narasi yang dipakai gubernur dalam postingan facebook (FB) pribadinya. Dalam postingan tersebut, saya mulai menilai dari ungkapan fenomenal Bupati Manggarai tentang geotermal Pocoleok, yang ia tandatangani SK penetapan lokasinya (PenLok), tanpa sepengetahuan warga setempat. ”Biasan pro agu kontra ho’o ga. Mai ga ite, lonto cama, kudut emi hot di’an. (Tentang pro dan kontra adalah hal yang lumrah, mari kita duduk bersama untuk mengambil keputusan yang baik),”ungkapnya.
Bagi saya, ungkapan itu, hanya cocok kalau memang panggungnya adalah panggung berdebat (debat paslon politik misalnya). Para pemimpin kita ini tidak paham bahwa persoalan pro dan kontra yang ada tidak sebatas narasi, tetapi telah mereduksi beragam nilai yang mempengaruhi kehidupan. Persoalan lain dari konotasi itu adalah; pengaruhnya terhadap penerjemahan warga. Jangan-jangan konotasi itu untuk meninabobokan warga, dan kemudian setelahnya, persoalan tersebut dibiarkan langgeng, dan konflik tetap berkepanjangan, sembari penguasa melihat selak, dan masuk pada saat yang tepat. Tidak terduga ! layaknya pencuri.
Sengaja saya memulai dengan konotasi yang dipakai Bupati Manggarai, karena memiliki korelasi signifikan dengan pernyataan gubernur saat kunjungan di Pocoleok. Hal itu juga penting untuk mengkonstruksi kecurigaan kita dari produk relasi kekuasaan yang menindas. Dalam pernyataannya saat berdialog dengan warga, Melky Laka Lena menyinggung keretakan sosial dan konflik internal yang terjadi di masyarakat adat Pocoleok. “goetermal itu, tidak lebih hebat dari persaudaraan, dan kekeluargaan. Jauh sebelum barang ini ada, kita adalah keluarga,” ungkapnya.
Konotasi yang terkesan mulia, dan [hendak] memosisikan warga, seolah-olah sebagai unsur utama yang diperhatikan dari pembangunan yang direncanakan. Hemat saya, pernyataan tersebut tidak lebih dari kamuflase bahasa yang memanipulasi warga sebagai pemimpin yang merakyat namun nyatanya buas tanpa ampun. Logika itu, sengaja dipakai gubernur, mengingat konflik berkepanjangan dari masyarakat setempat adalah tentang resistensi sosial yang juga terpampang jelas di media massa sejak terjadinya aksi ‘jaga kampung’ dari warga. Karena sangat tidak mungkin, seorang gubernur menonaktifkan media massanya dari persoalan tersebut.
Oleh karena itu, pendekatan dengan gaya bahasa seperti itu juga perlu saya kritisi karena sering dipakai penguasa untuk memberikan tawaran manis sesaat bagi warga sembari memboncengi tujuan licik yang sengaja disembunyikan sesaat. Lagi-lagi, untuk meninabobokan warga. Hubungan sederhananya, ada pada konotasi Bupati yang saya tulis di atas. Maka kita harusnya sadar bahwa, ketika penguasa menggunakan konotasi yang tampak positif dalam retorika mereka, sering kali terdapat upaya untuk membingkai realitas yang lebih kompleks.
Dalam konteks dialog gubernur yang saya paparkan di atas misalnya, bisa menjadi alat untuk membenamkan kritik warga dan mengalihkan perhatian dari isu-isu yang sebenarnya, seperti kekhawatiran tentang dampak lingkungan dan sosial proyek geotermal. Saya melihat bahwa, kecurigaan terhadap hal seperti itu sangat penting untuk dicermati. Sebab dengan memanipulasi makna seperti itu, gubernur bisa saja sementara menciptakan ilusi bahwa mereka mendengarkan suara rakyat, padahal sebenarnya mereka berupaya mempertahankan kekuasaan dan kontrol atas narasi yang berkembang.
Dekontruksi Klaim Gubernur Dari Mitos Hingga Sesat Pikir
Gubernur bersikeras bahwa penolakan warga “bukan suara rakyat asli” melainkan hasil "desain rapi" kelompok tertentu. Ia bahkan menyebut industri fosil sebagai dalang terselubung. Namun, tak satu pun bukti ia paparkan. Sangat jelas bahwa, argumen yang dibangunya bisa saja mengada-ada, untuk melemahkan perjuangan warga, dan menggiring opini publik. Menurut saya, Ini adalah strategi klasik peminggiran dari gubernur, dengan menciptakan musuh imajiner ("aktor di balik layar"), artinya ia mengalihkan isu dari kegagalan pemerintah membangun kepercayaan.
Selain itu, persoalan lainya yang menurut saya menyesatkan adalah ketika gubernur meromantisasi PLTP Ulumbu. Laka Lena memuji PLTP Ulumbu sebagai contoh "damai tanpa konflik". Ia lupa bahwa 2 dari 5 sumur Ulumbu telah mati dalam 13 tahun operasi—fakta yang dipertanyakan warga dalam 7 poin kritisnya. Ia juga abai bahwa sistem bagi hasil Ulumbu hanya 1% untuk masyarakat, sementara limbah panas merusak pertanian lokal. Lagipula, sekali lagi perlu diingat bahwa, kunjungan ke Ulumbu adalah kunjugan perdana dan hanya sesaat serta menerima informasi dari beberapa orang saja (sepihak).
Fenomena menarik lainya, saat kunjungannya ke Pocoleok yakni ‘dialog’ dengan senjata dan pengawalan berlebihan. "Saya tetap masuk meski dilarang," katanya, menyebut tindakannya sebagai "keberanian". Tapi bagaimana mungkin dialog disebut "setara" jika satu pihak datang dengan senjata? Pengawalan aparat bersenjata adalah bentuk intimidasi terselubung. Sungguh sebuah kontradiksi bagi pemimpin yang mengaku "mencintai rakyat". Belum lagi dengan informasi belakangan dari warga yang kemudian mengetahui bahwasanya ternyata turut serta juga dua mobil keranjang milik Kaplores Manggarai. hal itu diketahui warga, setelah kedua mobil tersebut, terpaksa harus ke simpang tiga ‘Bupati kaku’ untuk mencari tempat berbalik arah.
Kita juga tidak jarang mendengar kontradiksi kebijakan yang ia bangun ‘tak memaksa’ tetapi ujung-ujungnya menargetkan Pulau Flores sebagai Pulau Energi Terbaruka. Ya, tidak bedah jauh dengan konotasi yang biasa disampaikan oleh Bupati Manggarai pada subtema kedua analisis saya. Bagaimana tidak, di satu sis, ia bilang “jangan paksakan proyek”. Sementara di sisi lain, ia mendorong geotermal sebagai bagian dari “rencana nasioanl”. Bagi saya, ini bukan merupakan sebuah kebijakan, tetapi justru memaksa warga memilih antara “pembangunan” atau dikambinghitamkan sebagai “penghambat kemajuan.
Akhirnya, saya berpesan bahwa, penyebab utama konflik adalah juga akibat dari pendekatan represif negara dan korporasi. Jangan menyalahkan ‘penolakan’ sebagai pemicu keretakan sosial. Pernyataan Gubernur NTT bukan sekadar salah kaprah, tapi pembunuhan karakter sistematis terhadap masyarakat adat. Dengan menuding warga "bodoh", "dimanipulasi", dan "perusak kebersamaan", ia memutarbalikkan fakta: bahwa penolakan Pocoleok lahir dari kesadaran ilmiah dan kearifan ekologis. Gubernur, juga Bupati, sudah terlalu ulgar untuk berkoar ‘dialog’, tetapi langkah konkretnya justru kontradiktif.
Kami bukan penghambat pembangunan. Kami penjaga keseimbangan. Jika geotermal memang proyek mulia, bukankah seharusnya dimulai dari transparansi dan bukan fitnah?