Poco Leok Melawan

Di Balik Kabut Poco Leok

Oleh : Niko L

     Foto: Dokumentasi Warga - Gereja & sekolah di wilayah kampung Lungar, Poco Leok


Siang itu, 24 Mei 2025, karena tangan-tangan orang baik, saya berkesempatan mengunjungi Poco Leok. Ini satu Lembah dingin dan tenang, yang akhir-akhir ini panas karena proyek panas bumi.


Ruteng, kota indah di Barat Flores mengantar kami dengan derai hujan. Harusnya kemarau telah turun dari Poco Ranaka, gunung setinggi 2.350 meter, penjaga Ruteng. Mori Kraeng, wujud tertinggi dalam kosmologi orang Manggarai, mungkin mengirim hujan lebih panjang.
Mori Kraeng mencipta, menjaga, memelihara dan menjamin keteraturan kehidupan. Di dalamnya manusia dan alam adalah satu kesatuan. Gagasan biosentrisme ini merupakan antithesis terhadap anthroposentris yang memperlakukan alam sebagai ‘the other’, ‘the outsider’ yang dapat ditakluki.
Mori Kraeng tentu juga mengatur mesin musim dan itu dia, hujan lebih panjang untuk mendinginkan hati orang Manggarai, dan Flores, yang makin panas oleh panas bumi. Mungkin.
Perjalanan mendaki sebentar. Rumah-rumah sub urban telah di belakang, saat kami menuruni jalan aspal menuju Lembah Poco Leok. Gunung-gunung meliuk menjadi sumber nama lembah yang dipeluknya.
Jalan membelah hutan tropis yang terjaga baik. Kami melewati beberapa anak sungai. Dan salah satunya adalah Wae Mantar yang menyusup di bawah sebuah jembatan kecil. Nama ini juga menjadi nama sebuah Perusahaan kontraktor yang malang melintang dalam Pembangunan jalan di Flores tahun 1980-2000-an. Rupanya pemilik CV ini berasal dari daerah ini.
Cuaca mulai terang, saat kami memasuki Kawasan tanah adat Poco Leok. Sepanjang jalan papan-papan berjarak kira-kira 20 depa. Dan tulisan itu, “tolak panas bumi”.
Tiba di kampung Lungar, kami diterima di rumah gendang. Di Poco Leok ada 14 rumah gendang. Sebuah ritual adat menerima kami. Tuak dari pohon aren menjadi bagian dari upacara ini. Manis rasanya. Seperti manis perawakan ‘enu’ dan ‘nana-nana’ Manggarai yang terkenal.
Di atas tikar warna-warni, kami duduk melingkar. Mendengar seorang tetua meresital kata-kata ritmis. Saya tidak paham bahasanya, tetapi saya merasakan daya magis ungkapan-ungkapan itu: menerima dan mendoakan kami yang bertamu.
Saya dapat mengalaminya ritual ini karena tumbuh dalam tradisi lokal, sebelum dicabut ke sekolah bergaya Eropa di Mataloko. Manggarai, dan Flores, mengadopsi Katolisisme, tetapi menghayatinya dalam tradisi local. Dan karenanya menjadi sangat berakar. Tidak ada konflik batin yang saya alami. Mungkin karena benar kata seorang missionaris yang saya lupa Namanya, Flores itu Natürliche Christliche.
Mama-mama sibuk menghidangkan kopi dan singkong yang teksturnya sangat lembut. Agak mirip dengan Ubi atau singkong Nua Bosi, kampung dekat kota Ende di Timur. Tuak, singkong dan tikar warna-warni membuat saya mengenang masa kecil di kaki lereng Inerie (Ibu Rie).
Rangkaian gunung api Flores menganugerahkan tanah subur bagi orang Manggarai, orang Ngada, Orang Flores. Dan tikar-tikar itu, Adalah juga tempat kami tidur di pondok huma di lereng Inerie. Menjadi selimut saat jarum angin gunung turun di median malam. Paginya, nenek ngomel-ngomel karena sering tikar-tikar bau pesing. Masa kecil yang membuat ikatan batin saya dengan hutan dan gunung sangat kuat. Ikatan itu mungkin yang menjelaskan mengapa saya tidak merasa asing saat menjejakkan kaki di Poco Leok.

Foto : Dokumentasi Warga - Sejumlah anak muda & orang tua dari 10 kampung adat bersolidaritas memasang spanduk penolakan di sepanjang jalan kampung Lungar, Ndajang & Mocok.

Poco Leok, Lembah tenang ini menjadi satu titik konflik pembangunan pembangkit geothermal. Proyek energi terbarukan ini gencar diluncurkan sejak Kementerian ESDM menetapkan Flores dengan nama indah, Geothermal Island.
Dan bor eksplorasi datang ke Poco Leok, dihantar oleh Jakarta dengan janji-janji tentang transisi energi, tentang energi hijau, tentang keamanan energi, tentang Pembangunan, tentang industrialisasi.
Panas bumi memang satu jenis energi yang relatif ‘hijau’. Kemampuan untuk membangkitkan strum listrik juga besar. Dan Flores punya potensi besar panas bumi. Katanya 900 MW. Angkanya juga berubah-ubah.
Klaim energi hijau juga bisa diterima karena emisi karbon yang rendah. Tetapi hijau itu relatif karena tidak ada energi yang seratus persen hijau. Proses produksi energi apa pun pasti menghasilkan ekternalitas. Ini adalah dampak, positif atau negatif, yang dialami pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam proses produksi.
Pembangkit panas bumi memiliki ekternalitas positif. Salah satunya adalah ‘’social overhead capital. Eksplorasi, eksploitasi dan operasi pembangkit ini pasti butuh jalan bagus’. Jalan ini bisa dinikmati warga tanpa perlu membayar ongkos pembangunannya. Sebuah klinik Kesehatan untuk melayani pekerja pembangkit adalah contoh ekternalitas positif lain.
Tetapi tunggu dulu,proses produksi jenis energi ini juga memiliki ekternalitas negatif. Warga local melihat ancaman deplesi sumber daya air saat pemboran, berkurangnya lahan pertanian, perubahan social, polusi suara dan residu pemboran.
Berapa skalanya? Para geolog, yang datang berkat kuasa Jakarta mengatakan kecil. Namun pada titik ini ‘go magha dara” (pikiran yang tercerahkan), kebijaksanaan di kepala para pemimpin yang kita pilih, diperlukan.

Foto : Dokumentasi Warga - Sejumlah anak muda & orang tua dari 10 kampung adat bersolidaritas memasang spanduk penolakan di sepanjang jalan kampung Lungar, Ndajang & Mocok.

Yang dilupakan panas bumi bukan hanya soal terang listrik, yang persentasinya lebih besar dinikmati oleh kita yang tinggal di kota. Bagi komunitas local, ini soal identitas, soal hubungan manusia dengan alam, soal kehidupan dalam jangka panjang.
Identitas kita sebenarnya bersarang dalam jaringan tumpeng tindih. Budaya, etnis, agama, jenis kelamin, kampung, ikatan lain. Dan yang penting sarang tempat lahir, dibesarkan, mengalami yang social, yang kultural dan yang alam.
Cara berpikir rasional instrumental sering mengabaikan yang terakhir. Keterikatan kita dengan space (tempat) dan Place (ruang). Tempat membentuk relasi social yang intim, sebagai Orang Pocok Leok, orang Daratei, orang Sokoria. Yang kemudian mempengaruhi persepsi kita tentang ruang yang berjaring juga.
Tanpa Orang Poco Leok, tidak ada orang Manggarai, tidak ada orang Flores, tidak ada orang NTT dan seterusnya. Di Poco Leok dengan kebun kopi, Cengkeh, Aren, Mata Air, Tanah membuat manusianya percaya diri mengakses ruang yang lebih besar Bernama Manggarai dan seterusnya.
Rasionalitas instrumental yang berada di balik jargon Pembangunan sering mengabaikan ini. Tempat dan tanah hanya sekadar komoditas yang dipertukarkan di pasar. Dan di sini letak persoalannya. Pertukaran atau jual beli hanya mungkin terjadi jika ada pelembagaan pemilikan pribadi. Istilahnya Adalah privatisasi. Seolah-olah tidak ada jalan lain.
Privatisasi itu roh dari akumulasi kapital. Tidak ada akumulasi tanpa ada jual beli. Tidak ada jual beli tanpa pemilikian pribadi yang jelas. Pemilikan itu harus ditegakkan dengan ketat oleh hukum, manfaat positif atau kerugian dinikmati atau diderita oleh yang punya milik.


Sayang, saya tidak lama di Poco Leok. Semoga ada waktu Kembali ke sana. Di waktu yang singkat, saya bicara dengan beberapa Bapa dan Mama yang tinggal di kampung Lungar. Pemahaman sementara penolakan mereka sangat rasional.
Bagi kita, warga urban mungkin mereka tidak rasional. Panas bumi mendatangkan keuntungan, karena itu negara lalu bilang ada ganti untung untuk tanah, pohon kopi, dll. Negara juga bilang panas bumi ciptakan lapangan kerja, industrialisasi, kemajuan, atasi kemiskinan dan imajinasi lainnya.
Bapa Mama di Poco Leok juga sangat rasional. Bagi mereka ganti untung itu tidak untung. Mengapa? Taruh saja, satu Lingko dapat ganti rugi Rp 2 milliar. Sementara dari Lingko yang sama mereka mendapat penghasilan belasan juta dari sekali musim panen kopi, cengkeh, kakao.Bagi mereka, mana yang lebih untung? Panenan selama 30-37 tahun sesusai kontrak panas bumi, atau jual tanah.
Soal ciptakan perkerjaan? Seorang Bapa membarikan jawaban cerdas. Bapa itu bilang begini “Pemerintah bilang, panas bumi mendatangkan lapangan kerja bagi kami. Apakah kami ini penganggur. Apakah sadap aren, tanam kopi, kakao, olah sawah bukan pekerjaan?”.
Lapangan kerja Adalah satu imajinasi yang ditawarkan pengembang panas bumi. Komunitas local tidak melihat tempat mereka dalam imajinasi ini. Panas bumi itu butuh pengetahuan teknis, karena itu orang local hanya akan terlibat saat Pembangunan sebagai buruh kasar.
Setelah beroperasi, hanya mereka yang punya pengetahuan dan ketermpilan teknis yang akan terlibat. Berapa anak-anak muda di Poco Leok, Wae Sano, Soko Ria dan tempat lain dalam operasi dan pengelolaan panas bumi.
Jauh di di balik alasan-alasan rasional di atas, sikap negatif pada pembangkit energi terbarukan ini berakar lebih dalam. Hubungan batin dengan tanah, dengan ruang, dengan hutan, mata air dan pencipta.
Seorang mama menjelaskan bagaimana mereka terikat dengan bumi dan tanah dengan mengatakan ‘tanah ini tempat darah kami’, darah ketuban yang menghidupkan, sambil tangannya memperagakan menggali tanah dengan wajah yang susah saya definisikan.
Saya bisa membayangkan perubahan yang akan terjadi jika beberapa Lingko diprivatiasi. Lingko Adalah sistem cerdas temuan orang Manggarai untuk operasi keadilan. Dengan membagi tanah dalam bentuk jaring laba-laba dari titik pusat Bernama Lodok, semua orang bisa mendapat lahan yang subur, kurang subur, ada air dan tidak ada air.
Keadilan Adalah prinsip dasar perdamaian dan resolusi konflik. Orang Poco Leok sudah mempraktekkan ratusan tahun. Saya bisa membayangkan ketika pembangkit panas bumi hadir di Tengah system ini. Sebuah instalansi ‘alien’ yang memenggal keadilan tata ruang local.
Saat kami pulang, saya berdiri sebentar di tengah kampung Lungar. Titik-titik pembangkit ada di tebing yang mengelilingi kampung. Ada perasaan dikepung. Kabut merayap turun dari punggung gunung yang merangkul Poco Leok. Mistis.
Pikiran saya melayang di antara pucuk-pucuk pepohonan. Dengan tanda tanya, “Dapatkah kita, orang kota meletakkan kaki dalam sandal berlumpur Bapa-bapa dan Mama di Poco Leok, Wae Sano, Soko Ria dan Atadei?”.
Sebelum memutuskan mau terus atau tidak. Kalau mau terus, berapa banyak pembangkit dibikin, model pemilikan macam apa, di mana partisipasi warga local dalam tata Kelola, bagaimana model pembagian keuntungan, bukan sekadar cipratan kecil yang disebut dengan nama keren, Corporte Social responsibility.
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak