Foto: Dokumentasi SP-NTT |
Serikat Pemuda NTT (SP-NTT) menerbitkan siaran pers terkait sikap mereka atas ragam polemik dari gempuran investasi yang mengakibatkan konflik agraria dan lingkungan hidup di Nusa Tenggara Timur, khususnya Pulau Flores pada 25 Agustus 2025 lalu. Organisasi pemuda di Jakarta ini menilai, dalam situasi tersebut masyarakat kecil kerap menjadi korban ketidakadilan dari kebijakan investasi itu.
Dalam siaran pers SP-NTT, terdapat dua model investasi yang menjadi perhatian mereka. Pertama, terkait konflik geothermal yang menyasar pulau Flores hingga Lembata. Kedua, konflik pulau Padar/Taman Nasional Komodo. Tidak hanya itu, ada empat tuntutan tegas dari SP-NTT, termasuk pesan tertuju pada Gubernur NTT, Emanuel Melkiadel Laka Lena, untuk stop membual tentang persaudaraan dan kekeluargaan jika tidak ada niat mencabut akar persoalannya.
Konflik Geothermal Flores-Lembata
Melalui SK bernomor : 2268 K/30/MEM/2017 Kementerian ESDM menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas bumi. Dalam SK yang sama juga ditetapkan berbagai titik potensi eksploitasi di mana tambang panas bumi akan dilaksanakan.
Wae Sano, Poco Leok, Mataloko, dan Atadei di Pulau Lembata adalah gambaran konflik yang tidak boleh dianggap sebelah mata saja oleh Pemerintah dan Investor. Ketakutan dan kegelisahan masyarakat pada potensi kerusakan ruang hidup mereka adalah realitas yang wajar sebagai pemilik sah ruang hidup dan ruang produksi.
Di Poco Leok pada saat ini juga terjadi perpecahan atau situasi sosial yang sudah tidak kondusif lagi. Hal ini disadari oleh Melki Laka Lena sebagai Gubernur NTT, Ia juga paham bahwa perpecahan ini buah dari investasi tambang panas bumi dari Pedagang arus listrik (PLN).
Sampai saat ini, konfliknya tetap ada. Kami menganggap pernyataan Melki di beberapa forum bahwa ia mencintai rasa persaudaraan dan kekeluargaan hanyalah bualan saja.
Hal yang sama terjadi di berbagai lokasi lainnya, seperti Atadei dan Mataloko, di mana kohesi sosial sudah tidak lagi bertahan. Yang terjadi adalah potensi saling sikut antar warga, hal yang mungkin menurut pemerintah dan investor adalah keberhasilan mereka merusak secara sosial dan merampas tanah.
Sedangkan Mataloko juga sudah menjadi contoh kegagalan proyek tambang panas bumi dari pedagang arus listrik (PLN) sejak hampir tiga dekade lalu. Bukan janji ‘terang’, yang terealisasi justru kegelapan sosial, lingkungan dan kehancuran ruang hidup.
Konflik Pulau Padar/Taman Nasional Komodo
Konflik lainnya yang hari ini memanas di NTT adalah privatisasi dan komersialisasi kawasan konservasi Taman Nasional Komodo, di mana pemerintah memberi karpet merah bagi korporasi untuk membangun dan merusak habitat komodo itu.
Salah satu di antara beberapa korporasi yang memiliki konsesi di kawasan Taman Nasional Komodo adalah PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE). Perusahaan yang terkait dengan grup Tomy Winata dan koruptor Setya Novanto ini mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Sarana Pariwisata Alam dengan total konsesi seluas 274,13 Ha di Pulau Padar pada tahun 2014 silam.
Dua tahun sebelum izin itu diberikan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terlebih dahulu merubah status zonasi kawasan Pulau Padar dari seluruhnya zona inti dan zona rimba menjadi zona pemanfaatan yang bisa dikuasai korporasi. Hal yang sama terjadi di Pulau Tatawa, di mana pemerintah mengubah zonasi lalu memberi konsesi kepada PT Synergindo Niagatama. Korporasi lainnya yang menguasai lahan di TN Komodo adalah PT Segara Komodo Lestari di Pulau Rinca.
Serikat Pemuda NTT menduga kuat ada maksud terselubung dari utak-atik sistem zonasi kawasan pada 2012 itu, bahwa ada kesepakatan bawah meja antara pihak korporasi dan KLHK (kini Kementerian Kehutanan) pada saat itu yang pada intinya berujung pada pengkaplingan atau privatisasi kawasan tersebut.
Sementara korporasi menguasai ratusan hektare, warga Ata Modo hanya berhak atas 17 hektar zona pemukiman. Padahal tanah yang dikuasai investor sebagiannya adalah tanah ulayat mereka yang dulu diambil atas nama konservasi dan keutuhan habitat komodo.
Bagi Serikat Pemuda NTT-Jakarta, Investasi tanpa mempertimbangkan kondisi dan distribusi ruang hidup dan ruang produksi masyarakat hanyalah bentuk legal dari perampasan dan pencaplokan.
Catatan: ada sebagian data diambil dari pemberitaan media Floresa.co
Adapun sikap SP-NTT sebagai pernyataan dan tuntutan mereka;
1. Mendesak Kementerian ESDM untuk segera mencabut SK : 2268 K/30/MEM/2017 Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
2. Mendesak Bupati Manggarai untuk segera mencabut SK bernomor : HK / 417 / 2022 yang menetapkan Pengembangan PLTP Ulumbu ke ruang hidup masyarakat adat Poco Leok.
3. Mendesak Kementerian Kehutanan agar segera membatalkan atau mencabut konsesi PT. KWE yang ada di Pulau Padar, termasuk PT Synergindo Niagatama, PT Segara Komodo Lestari di Taman Nasional Komodo.
4. Untuk Gubernur NTT kami berpesan, STOP membual tentang Persaudaraan dan Kekeluargaan jika tidak ada niat mencabut akar persoalannya.
Jakarta, 25 Agustus 2025